Judul: Bukan Pasar Malam
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Desain sampul: Ong Hari Wahyu
Penerbit: Lentera Dipantara
Blurb:
"Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang... seperti dunia dalam pasarmalam. Seorang-seorang mereka datang... dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana"
-Pramoedya Ananta Toer
Roman ini berlangsung dalam satu putaran perjalanan seorang anak revolusi yang pulang kampung karena ayahandanya jatuh sakit. Dari seputaran perjalanan itu, terungkap beberapa potong puing gejolak hati yang tak pernah teranggap dalam gebyar-gebyar revolusi.
Dikisahkan bagaimana keperwiraan seorang dalam revolusi pada akhirnya melunak ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari: ia menemukan ayahnya yang seorang guru yang penuh bakti tergolek sakit karena TBC, anggota keluarganya yang miskin, rumah tuanya yang sudah tidak kuat lagi menahan arus waktu, dan menghadapi istri yang cerewet.
Berpotong-potong kisah itu diungkapkan dengan sisa-sisa kekuatan jiwa yang berenangan dalam jiwa seorang mantan tentara muda revolusi yang idealis. Lewat tuturan yang sederhana dan fokus, tokoh "aku" dalam roman ini tidak hanya mengritik kekerdilan diri sendiri, tapi juga menunjuk muka para jenderal atau pembesar-pembesar negeri pascakemerdekaan yang hanya asyik mengurus dan memperkaya diri sendiri.
Novel Pramoedya Ananta Toer yang ini bercerita tentang seorang anak tanpa nama--"aku"--yang harus pulang ke kampung halamannya--Blora--karena ayahnya sakit.
Dikisahkan ayahnya ini punya penyakit paru-paru yang menyebabkan dia harus dirawat di rumah sakit.
“Dan dengan langkah berat pergilah aku meninggalkan rumahsakit itu; rumah tempat orang yang tak bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya sendiri.”
Selama perjalanan si tokoh aku ini mengalami semacam kegalauan (?) sewaktu berbagai macam kenangan masuk ke dalam pikirannya. Dan ya, intinya novel ini banyak menceritakan tentang pergulatan di dalam diri si tokoh utama.
“Aku mengeluh. Hatiku tersayat. Aku memang perasa. Dan keluargaku pun terdiri dari makhluk-makhluk perasa.”
Selain itu, novel ini juga berisi sindiran-sindiran terhadap para pembesar negeri. Ini ada kutipan yang saya suka:
“Bahwa orang yang punya itu banyak menimbulkan kesusahan pada yang tak punya. Dan mereka tak merasai ini.”
Ah, ada juga tuh, yang si Bapak bilang, dia enggak mau jadi perwakilan rakyat, karena dia enggak suka jadi badut--sekalipun badut besar. HAHA. Saya ketawa beneran.
((ah, si Bapak lucu)) |
Dan yang bikin saya tambah suka adalah diksinya! Ah, gausah ditanya lagi kali ya, wkwkw. Saya suka kaget sama kata-kata yang dipakai Pak Pram. Agak aneh kalau dibandingin sama cerita zaman sekarang, tapi jatuhnya jadi bagus dan khas.
Oh ya, di novel ini, juga semua tokohnya gapakai nama. Jadi ya, si tokoh utama cuma disebut 'aku', bapaknya disebut 'ayah', dst. Ya ampun, saya suka banget. HEHE. Keren, lah pokoknya.
Terlepas dari semua itu, saya mau mengomentari sesuatu tentang cetakannya. ((sotau mode on)). Orang-orang memang ada yang bilang 'pasarmalam' dan 'pasar malam'. Menurut saya, itu cuma perbedaan zaman aja, kan? CMIIW.
Nah tapi, di bukunya ada beda gitu. Padahal kan satu buku. Lihat, deh.
Ah ya, itu aja, sih. EHE.
Maafkan saya kalau resensi ini kelihatan kurang serius atau gimana. Harusnya saya lebih serius sih dalam meresensi buku sastra, tapi ah, kalau mau yang serius-serius mah, enggak saya post di blog--nanti saya kasih ke guru Bahasa Indonesia. wkwk.
Oke, terakhir, saya kasih 5 dari 5 bintang untuk dunia yang bukan pasar malam ini.
Rekomendasiin buku Pramoedya bagus yang lain dong an
ReplyDelete