Judul: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Editor: Rosi L. Simamora
Desain sampul: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Blurb:
Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
Di Critical Eleven, kita akan mengikuti kisah Ale dan Anya--dua orang yang pertama kali kenal di pesawat. Mereka duduk sebelahan terus ngobrol-ngobrol gitu.
enggak. enggak ada yang mecahin muntahan kayak mr. bean kok. |
Setelah turun dari pesawat, mereka memutuskan untuk mengenal satu sama lain lebih jauh lagi sampai kemudian menikah.
Tapi, pernikahan mereka yang awalnya baik-baik aja, retak gara-gara sebuah masalah. Masalahnya apa? Kalian baca sendiri ya! ahaha.
Saya enggak bakal nyeritain alurnya lebih banyak karena nanti kalian kena spoiler (sumpah bukan karena males ngetik), tapi emang konfliknya itu enggak langsung dijelasin di awal, tapi baru di halaman berapa puluh gitu kita dikasih tahu masalahnya apa. Jadi selamat mencari tahu!
Oke, ayo bahas bukunya.
Saya akhirnya baca Critical Eleven! Yayy!
Setelah memutuskan untuk enggak baca cerpennya di Autumn Once More karena pengin langsung baca novelnya dan berkali-kali enggak jadi bawa pulang buku ini dari toko buku akhirnya saya baca jugaa!
Saya baca sehari langsung selesai karena buku ini page-turner parah. Saya kayak terus penasaran sama apa yang bakal ada di halaman selanjutnya. Pengin nutup tapi mikir, "Ah, dikit lagi lah, nanggung" dan begitu terus wkwk.
Critical Eleven ini dibawakan dari dua sudut pandang, Anya dan Ale. Dan seperti yang udah saya bilang di atas, konflik di buku ini 'disembunyikan' sampai akhirnya, di halaman berapa puluh gitu dikasih tahu.
Selain dari dua sudut pandang, cerita ini juga alurnya maju mundur banget.
Jadi nyaris di semua bab, sebelum ke masa sekarang itu ada adegan masa lalu atau, abis adegan masa sekarang, ada adegan masa lalu. Walaupun kadang ini yang bikin saya bingung. Kayak pas awal baca adegan, saya kadang butuh beberapa paragraf dulu baru nyadar kalau itu adegan sekarang atau yang dulu. (Ini saya yang lemot apa gimana gatau wkwk.) Tapi enggak apa-apa sih, saya masih enak-enak aja bacanya.
Kemudian, selain ceritanya yang page-turner, yang saya suka dari novel ini selanjutnya adalah Ale!
Maksud saya, Ale itu yah, baik. Walaupun kadang agak gak masuk akal, soalnya nyaris sempurna banget gitu wkwk.
Abis itu saya juga suka kutipan-kutipan yang ada di buku ini. Sayang, saya enggak sempat nandain karena saya keasyikan baca
OHH ya, selain itu, saya juga suka adalah potongan-potongan cerita Anya-Ale yang disajikan dalam bentuk alur mundur. Kalau konfliknya (alur majunya), saya sebenernya biasa-biasa aja. Tapi adegan-adegan Anya-Ale dulu itu antara manis, bikin sedih, lucu, dan lain-lain.
Terus, yang saya suka lagi adalah... PEMBATAS BUKUNYA! Haha. Saya suka banget.
Btw, katanya novel ini mau dijadiin film ya? Saya enggak sabar pengin nonton! wkwk. Harapan saya, semoga perasaan Anya dan Ale (yang di sini kita tahu
Dan saya juga berharap, pemeran-pemerannya cocok dan bisa membawakan karakter Anya-Ale dengan baik (yah, karakter yang lain juga sih. Termasuk Tini because i like her so much hha. Kocak abis si Tini).
Oh ya, ini beberapa kutipan yang saya suka (dan ingat):
"Kalau memang benar-benar sayang dan cinta sama perempuan, jangan bilang rela mati buat dia. Justru harusnya kuat hidup buat dia. Rela mati sih gampang, dan bego. Misalnya demi menyelamatkan istri lo, lo rela mati. Lo merasa udah jadi pahlawan kalau udah begitu, egois itu. Setelah lo mati, yang melindungi dan menyayangi istri lo lantas siapa? Lo meninggal dan istri menangisi lo karena nggak ada lo lagi, itu yang dibilang pahlawan? Seharusnya kalau lo memang benar-benar sayang, lo rela mengorbankan apa saja demi istri lo, tapi lo juga harus berjuang supaya lo tetap hidup dan tetap ada buat dia. Itu baru bener."
--
"And don't you just love the heterogeneity of bookstores? Toko buku itu bukti nyata bahwa keragaman selera bisa kumpul di bawah satu atap tanpa harus saling mencela. Yang suka fiksi, komik, politik, masak-masak, biografi, traveling, semua bisa ngumpul di satu toko buku and find their own thing there."
--
"Nya, orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita."
--
"Langsung gue tubruk dan gue peluk tubuhnya. Seerat-eratnya. Karena beginilah dari dulu gue mencintai Anya. Tanpa rencana, tanpa jeda, tenpa terbata-bata."
Oke, mungkin segitu dulu ya.
Terakhir, saya kasih 4 dari 5 bintang buat Om Ale dan Onti Nyanya wkwk.
Ini adalah onti. oke, galucu. |
0 komentar:
Post a Comment