Judul: Larasati
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Desain kulit muka: Ong Hari Wahyu
Penerbit: Lentera Dipantara
Blurb:
Roman ini merekam dengan elegan golak revolusi Indonesia pascaproklamasi. Tapi bukan dari optik "orang-orang besar dan orang-orang tua", melainkan seorang perempuan. Larasati namanya. Seorang aktris panggung bintang film yang cantik. Dari kidah perjalanan perempuan inilah melela sebuah potret keksatriaan kaum mudah merebut hak merdeka dari tangan-tangan orang asing.
Tidak hanya merekam kisah-kisah heroik kepahlawanan, namun juga lengkap dengan selagala kemunafikan kaum revolusioner, keloyoan, omong banyakl tapi kosong dari para pemimpin, pengkhianatan, dan sebenggol-sebenggol kisah percintaan. Dari sepenggalan perjalanan Ara-dari pedalaman (Yogyakarta) ke daerah pendudukan (jakarta)-terpotret bagaimana manusia-manusia Republik memandang revolusi.
Larasati bercerita tentang kehidupan Larasati--atau yang biasa dipanggil Ara--seorang bintang film Indonesia yang hidup di zaman Revolusi Indonesia pascaproklamasi. Waktu itu, Belanda dateng dan dudukin Indonesia lagi. Jadi, pemerintahan Indonesia pun bergeser ke Yogya, sementara Jakarta diduduki Belanda.
"Aku juga punya tanahair. Aku, Larasati, bintang Ara. Sedang sebutan Miss pun aku tak pernah pakai. Ara! Cukup Ara. Mengapa mesti dengan Miss? Sebutan itu akan membuat aku berkulit putih. Apakah sebutan itu cuma tantangan kaum pria, kalau aku milik siapa saja?"
Nah, cerita Larasati ini dimulai dari ketika Ara, yang tadinya tinggal di Yogya, memutuskan buat pindah ke Jakarta. Tujuannya sih, dia pengin main film lagi (dia udah jarang main film, kebanyakan main di panggung), dan pengin ketemu ibunya yang tinggal di Jakarta (udah setahun pisah).
Bermodalkan barang-barang secukupnya, sepucuk surat, dan keberanian (ea) Ara pun berangkat ke Jakarta.
Seperti yang saya bilang tadi, Jakarta di zaman Revolusi ini diduduki Belanda, otomatis, kehidupan Ara pun enggak seenak di Yogya.
Di Yogya, Ara bisa hidup berkecukupan, sementara di Jakarta, dia tinggal di rumah ibunya yang yah... sebenernya udah enggak terlalu layak buat dibilang rumah, sih. Sebenarnya, Ara bisa aja nerima tawaran buat bikin film propaganda Belanda, tapi tentu aja Ara enggak mau, karena Ara masih ngehargain Indonesia banget.
"Tapi biar bagaimana pun, aku tidak akan berkhianat. Aku juga punya tanahair. Jelek-jelek tanahairku sendiri, bumi dan manusia yang menghidupi aku selama ini. Cuma binatang ikut Belanda."
Di Jakarta, Ara yang emang punya jiwa revolusi tinggi, bisa ngelihat sendiri kenyataan revolusi. Yang ditekankan di buku ini itu gimana, jiwa-jiwa revolusi itu sebenernya ada di dalam diri pemuda-pemuda, bukan di dalam diri 'orang-orang tua'.
"Seluruh kedudukan yang enak diambil orang-orang tua. Mereka hanya pandai korupsi. Rencana-rencanaku kandas di laci-laci. Tapi kau tahu sendiri--itu semua di Yogya lebih banyak kukira. Angkatan tua itu sungguh-sungguh bobrok!"
--
"Kalau sampai di Jakarta--nona ke Jakarta, bukan?--jangan lupakan pemuda-pemuda ini. Mereka sedang melahirkan sejarah."
Oke, jadi Larasati adalah buku Pak Pram kesekian yang saya baca dan tentu aja saya suka. Walaupun saya tetap lebih suka Bukan Pasar Malam. Hehe.
Ayo, lah, bahas bukunya!
Jadi hal pertama yang ingin saya--dan beberapa orang lain yang juga udah baca Larasati kemudian mengeluarkan pendapat ini (dan saya setuju)--tanyakan adalah, kenapa cover Larasti yang sekarang gambar ceweknya bukan cewek Indonesia? Itu agak-agak Eropa gitu, kan?
Maksud saya, Ara kan digambarin sebagai wanita yang sangat-sangat-sangat berjiwa revolusioner, kayaknya agak enggak nyambung kalau gambar ceweknya enggak kayak cewek khas Indonesia.
Tapi selain itu sih, selebihnya saya suka sama isi novel ini. Buku ini tipis jadi saya selesai baca ini enggak sampai satu hari.
Walaupun saya enggak terlalu menikmati karena kadang, menurut saya Ara suka terlalu berlebihan jiwa revolusinya tapi enggak diimbangi dengan tindakan. Waktu ikut perang kecil-kecilan aja, Ara literally enggak ngelakuin apa-apa. Tapi yah... emang itu sih, tujuannya. Buat ngelihat revolusi dari sudut pandang seorang bintang film kayak Ara.
"Memang aku seorang pelacur, tuan kolonel. Tapi aku masih berhak mempunyai kehormatan. Karena, aku tidak pernah menjual warisan nenekmoyang pada orang asing."
Saya suka pesan-pesan yang ada di dalam buku ini! Dan Pak Pram pun juga nyindir beberapa hal, kayak orang-orang oportunis, pandangan orang-orang terhadap seni, 'orang-orang tua', dll.
"Sandiwara?" kata perdana menteri, "apa yang bisa diperbuat sandiwara dalam masa orang tidak membutuhkan seni apapun juga sekarang ini?"
Dan Chaidir dengan berapi-api membela seakan-akan sandiwara itu dirinya sendiri, "Dalam keadaan bagaimana pun setiap orang membutuhkan segala-galanya. Berikan apa yang mereka butuhkan. Tapi jangan padamkan api Revolusi. Berikan minyak pada api itu!"
Ini ada beberapa kutipan yang saya suka dari novel Larasati.
"Kau tidak seperti dulu, Ara."
"Tentu saja tidak. Apa gunanya Revolusi kalau tidak bisa mengubah aku?"
"Kau singa garang."
"Di bumi penjajahan ini."
"Kau bakal mati kelaparan."
"Tidak, selama Revolusi menggelora."
--
"Dan seperti selamanya dalam perjuangan, mereka bersiap-siap terus, selalu bersiap-siap. Bersiap untuk menyerang dan diserang, bersiap untuk merdeka seratus prosen."
--
"Tidak, aku tidak takut lagi."
"Karena kita menang? Salah, perjuangan selamanya mengalami menang dan kalah, silih berganti. Kalau kau menang, bersiaplah untuk kalah, dan kalau kau kalah, terima kekalahan itu dengan hati besar, dan rebutlah kemenangan."
--
"Dulu bisa mengadu. Dulu ada pengadilan. Dulu ada polisi, kalau duit dicolong tetangga kita. Apa sekarang? Hakim-hakim, jaksa-jaksa yang sekarang juga nyolong kita punya. Siapa mesti mengadili kalau hakim dan jaksanya sendiri pencuri?"
--
"Mereka berjabatan tangan, seperti gunung berjabatan dengan samudera. Mereka hanya dua gumpal daging kecil, tapi jiwanya lebih besar daripada gunung, lebih luas dari laut, karena mereka ikut melahirkan sesuatu yang nenek-moyangnya dan bangsa-bangsa lain tidak atau belum melahirkannya: kemerdekaan."
--
"Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada--itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita."
Okeokee, terakhir saya kasih 3,5 bintang buat para pemuda-pemuda tak dikenal yang membuat sejarah di Indonesia : ).
0 komentar:
Post a Comment